Page -1-
Angkota Nomor Lima
Terik
panas matahari hari ini membuatku tak bersemangat. Keringat menetes membasahi
tubuh dan menghilangkan bau harumku. Lesu, letih, dan lelah. Masih duduk
terdiam mengikuti pelajaran sekolah yang sebenarnya mengasyikan, tapi entah
mengapa kali ini terasa sangat membosankan. Ya, pelajaran matematika. Sebagian
besar pelajar yang tidak menyukainya, mereka membuat kepanjangan dari kata matematika yaitu ‘Makin Teliti Makin Tidak
Karuan’. Namun walaupun aku sendiri tidak terlalu bisa dalam pelajaran ini, aku
sangat menyukainya.
Tanganku
yang menggenggam pensil terus bergerak. Entah apa yang ingin ku tulis, aku
sendiri tidak mengerti. Hanya coretan tanpa aturan dan tidak bermakna. Apalagi pikiranku sedang sangat malas untuk
berpikir.
“Teeeeeeeetttt”,
sepertinya kedua telingaku mendengar suara yang sangat ditunggu oleh para
siswa. Ternyata memang benar. Kedua telingaku mendengar bel pulang sekolah yang
terdengar sangat menyenangkan. Namun, tubuh ini rasanya tak ingin beranjak dari
tempat duduk. Membayangkan betapa lelahnya otakku apabila aku masih harus
mengikuti bimbingan belajar diluar sekolah untuk mengejar nilai-nilaiku agar
aku dapat masuk kejurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Aku sangat ingin masuk
kejurusan itu, karena aku sendiri tahu bagaimana nilai-nilaiku di jurusan Ilmu
Pengetahuan Sosial dan Bahasa. Banyak nilai Ilmu Pengetahuan Sosial ku yang
jauh dibawah batas tuntas. Sangat menyedihkan.
“Vania,
ayo … langit sudah tampak gelap, kalau kita tidak berangkat sekarang, bisa-bisa
kita akan kehujanan.” Ajakan Christya, teman sebangkuku yang membuyarkan
pikiran otakku. Mau tak mau tubuhku ini harus berdiri dan berjalan menuju
tempat bimbingan belajar yang aku ikuti. Titik-titik hujan mulai jatuh saat aku
dan Christya sudah duduk di angkota nomor 2. Christya adalah teman yang sejak
di sekolah menengah pertama selalu berada satu kelas dengan aku. Sama seperti
saat ini, kami sama-sama duduk di kelas X-10 SMA Negeri 1 Salatiga. Sangat
senang bahwa saat SMA pun kami dapat duduk satu bangku lagi. Tak akan bosan aku menjadi teman sebangkunya.
Dia tahu banyak hal tentang aku. Jelas saja, kami bersama kira-kira hampir
empat tahun. Dia tahu bagaimana sikapku ketika aku sedang senang, ketika aku
sedang sedih, dan ketika aku sedang marah. Bahkan ketika aku sedang malaspun
dia sangat tahu. Tak perlu bertanya lagi padaku, dia tahu hari ini aku sedang
sangat malas. Christya memang seorang sahabat yang sangat baik.
Aku
duduk dibangku depan ketika aku mengikuti bimbingan belajar kimia. Berharap
agar konsentrasiku kembali muncul dan mengembalikan semangat belajarku. Namun
nyatanya sama saja, konsentrasiku hilang entah pergi kemana. Hujan semakin
deras. Hawa dingin merasuk ke tulang. Suara ibu guru cantik yang mengenakan
kerudung merah sesuai dengan pakaiannya terdengar sedang menjelaskan. Suara itu
hanya berlalu lalang di telingaku dan tak sedikitpun terekam di otakku. Ku
lirik jam tangan murah berwarna putih tapi kini sudah mulai kecoklatan. Saat
kulihat dengan seksama, terasa jarumnya berputar sangat lambat. Lima belas
menit berlalu. Menggerakkan tangan hanya untuk mencatat. Tiga puluh menit
berlalu. Ingin cepat-cepat aku berdiri untuk melemparkan tubuhku ini ke tempat
tidurku.
Berjalan sendiri. Tak biasa aku berjalan
sendirian seperti ini. Membiarkan tubuhku basah terkena air hujan. Menunggu angkota
dengan tatapan kosong. Beberapa menit berdiri di tepi jalan, akhirnya angkota
yang ku tunggu berhenti tepat di depanku. Aku menaiki angkota nomor 5 tanpa
perasaan apa-apa. Duduk melamun di depan pintu
angkota. Saat ku palingkan wajahku, mataku terpaku melihat laki-laki itu.
Tak sadar mataku dan matanya bertemu. Berbicara beberapa saat. Seakan bercerita
banyak hal setelah sekian lama tidak bertemu. Laki-laki itu masuk ke dalam angkota
dan kini duduk di sampingku. Laki-laki mengenakan seragam putih abu-abu,
mengenakan jaket hitam bergaris merah yang bertuliskan Jordan, membawa tas
ransel biru muda, di tangan kanannya menempel jam bermerek Puma , dan sepatu
hitam bermerek League membuatnya terlihat semakin tampan. Tangannya masih
membawa tas hitam Yamaha berisikan gitar yang membuatku kembali berada di masa
itu. Masa dimana aku selalu memperhatikannya saat bermain gitar. Permainan
gitar melodinya terdengar lagi di telingaku. Tak sengaja membuatku sedikit
tersenyum. Ya, dia temanku saat berada di bangku sekolah menengah pertama. Lebih
tepatnya mantan kekasihku.