Monday, May 7, 2012

My Story

Page -1-
Angkota Nomor Lima
Terik panas matahari hari ini membuatku tak bersemangat. Keringat menetes membasahi tubuh dan menghilangkan bau harumku. Lesu, letih, dan lelah. Masih duduk terdiam mengikuti pelajaran sekolah yang sebenarnya mengasyikan, tapi entah mengapa kali ini terasa sangat membosankan. Ya, pelajaran matematika. Sebagian besar pelajar yang tidak menyukainya, mereka membuat kepanjangan dari  kata matematika yaitu ‘Makin Teliti Makin Tidak Karuan’. Namun walaupun aku sendiri tidak terlalu bisa dalam pelajaran ini, aku sangat menyukainya.
Tanganku yang menggenggam pensil terus bergerak. Entah apa yang ingin ku tulis, aku sendiri tidak mengerti. Hanya coretan tanpa aturan dan tidak bermakna.  Apalagi pikiranku sedang sangat malas untuk berpikir.
“Teeeeeeeetttt”, sepertinya kedua telingaku mendengar suara yang sangat ditunggu oleh para siswa. Ternyata memang benar. Kedua telingaku mendengar bel pulang sekolah yang terdengar sangat menyenangkan. Namun, tubuh ini rasanya tak ingin beranjak dari tempat duduk. Membayangkan betapa lelahnya otakku apabila aku masih harus mengikuti bimbingan belajar diluar sekolah untuk mengejar nilai-nilaiku agar aku dapat masuk kejurusan Ilmu Pengetahuan Alam. Aku sangat ingin masuk kejurusan itu, karena aku sendiri tahu bagaimana nilai-nilaiku di jurusan Ilmu Pengetahuan Sosial dan Bahasa. Banyak nilai Ilmu Pengetahuan Sosial ku yang jauh dibawah batas tuntas. Sangat menyedihkan.
“Vania, ayo … langit sudah tampak gelap, kalau kita tidak berangkat sekarang, bisa-bisa kita akan kehujanan.” Ajakan Christya, teman sebangkuku yang membuyarkan pikiran otakku. Mau tak mau tubuhku ini harus berdiri dan berjalan menuju tempat bimbingan belajar yang aku ikuti. Titik-titik hujan mulai jatuh saat aku dan Christya sudah duduk di angkota nomor 2. Christya adalah teman yang sejak di sekolah menengah pertama selalu berada satu kelas dengan aku. Sama seperti saat ini, kami sama-sama duduk di kelas X-10 SMA Negeri 1 Salatiga. Sangat senang bahwa saat SMA pun kami dapat duduk satu bangku lagi.  Tak akan bosan aku menjadi teman sebangkunya. Dia tahu banyak hal tentang aku. Jelas saja, kami bersama kira-kira hampir empat tahun. Dia tahu bagaimana sikapku ketika aku sedang senang, ketika aku sedang sedih, dan ketika aku sedang marah. Bahkan ketika aku sedang malaspun dia sangat tahu. Tak perlu bertanya lagi padaku, dia tahu hari ini aku sedang sangat malas. Christya memang seorang sahabat yang sangat baik.
Aku duduk dibangku depan ketika aku mengikuti bimbingan belajar kimia. Berharap agar konsentrasiku kembali muncul dan mengembalikan semangat belajarku. Namun nyatanya sama saja, konsentrasiku hilang entah pergi kemana. Hujan semakin deras. Hawa dingin merasuk ke tulang. Suara ibu guru cantik yang mengenakan kerudung merah sesuai dengan pakaiannya terdengar sedang menjelaskan. Suara itu hanya berlalu lalang di telingaku dan tak sedikitpun terekam di otakku. Ku lirik jam tangan murah berwarna putih tapi kini sudah mulai kecoklatan. Saat kulihat dengan seksama, terasa jarumnya berputar sangat lambat. Lima belas menit berlalu. Menggerakkan tangan hanya untuk mencatat. Tiga puluh menit berlalu. Ingin cepat-cepat aku berdiri untuk melemparkan tubuhku ini ke tempat tidurku.
Berjalan sendiri. Tak biasa aku berjalan sendirian seperti ini. Membiarkan tubuhku basah terkena air hujan. Menunggu angkota dengan tatapan kosong. Beberapa menit berdiri di tepi jalan, akhirnya angkota yang ku tunggu berhenti tepat di depanku. Aku menaiki angkota nomor 5 tanpa perasaan apa-apa. Duduk melamun di depan pintu  angkota. Saat ku palingkan wajahku, mataku terpaku melihat laki-laki itu. Tak sadar mataku dan matanya bertemu. Berbicara beberapa saat. Seakan bercerita banyak hal setelah sekian lama tidak bertemu. Laki-laki itu masuk ke dalam angkota dan kini duduk di sampingku. Laki-laki mengenakan seragam putih abu-abu, mengenakan jaket hitam bergaris merah yang bertuliskan Jordan, membawa tas ransel biru muda, di tangan kanannya menempel jam bermerek Puma , dan sepatu hitam bermerek League membuatnya terlihat semakin tampan. Tangannya masih membawa tas hitam Yamaha berisikan gitar yang membuatku kembali berada di masa itu. Masa dimana aku selalu memperhatikannya saat bermain gitar. Permainan gitar melodinya terdengar lagi di telingaku. Tak sengaja membuatku sedikit tersenyum. Ya, dia temanku saat berada di bangku sekolah menengah pertama. Lebih tepatnya mantan kekasihku. 

My Story

Page -2-
Aku sangat menyukainya sejak pertama kali aku melihatnya berada satu kelas dengan aku di kelas 7C SMP Negeri 1 Salatiga. Hatiku berdegup sangat kencang ketika aku kembali tersadar bahwa ia duduk di sampingku. Tepatnya di sebelah kiriku.  Ku tutupi detak jantungku dengan tas ransel coklatku agar tak terlihat olehnya detak jantungku yang berdegup sangat kencang. Aku hanya diam terpaku.
“Baru pulang?” tanyanya singkat membuat tenggorokanku terasa kering sehingga sulit untuk bicara. Entah apa maksudnya bertanya seperti itu. Hanya basa-basi saja atau memang dia benar-benar ingin tahu.
“Hm.. Oh aku baru saja mengikuti bimbingan belajar di luar sekolah. Jadi baru bisa pulang.” Jawabku gugup. Otakku terus mencari pertanyaan apa yang akan kutanyakan padanya. Aku tak mungkin menanyakan pertanyaan yang sama padanya karena aku tahu kini ia bersekolah di sekolah yang setiap harinya belajar lebih dari delapan jam pelajaran. Ia selalu pulang kira-kira pukul 15.00 tapi hari Sabtu diliburkan sehingga ia selalu pulang sore hari. Namun tiba-tiba suaranya yang terdengar sangat cool menghentikan aktivitas otakku yang sedang mencari pertanyaan.
“Ikut bimbingan belajar apa emang? “
“Kimia.”
“Wah berarti masuk jurusan IPA dong.”
“Maunya sih gitu. Tapi lihat nilai-nilai aja, emang bisa atau engga. Tumben naik nomor 5?”, suaraku sudah tidak terdengar gugup. Mungkin ia melihat wajah keherananku karena di tahu bahwa aku ingat dia selalu naik angkota nomor 10 apabila pulang ke rumah. Dia memasang sedikit senyum manis dibibirnya yang membuatnya semakin terlihat tampan.
“Iya, emang sekarang aku lebih sering naik angkota nomor 5.”
“Oh.”
Di dalam hati aku bertanya ‘mengapa baru bertemu sekarang?’ Namun tak ada gunanya bertanya-tanya sendiri di dalam hati. Suasana hening. Kami tak saling berpandangan dan sibuk dengan pikiran kami masing-masing.
Aku tak ingin menyia-nyiakan kesempatan ini. Duduk di dalam angkota yang sama dengan seorang yang sangat aku sukai sejak aku duduk di bangku sekolah menengah pertama dan mungkin saat ini pun aku masih menyukainya. Walaupun sedikit.
“Ikut Olimpiade Astronomi ya?”, pertanyaan yang hanya basa-basi saja karena sebenarnya aku tahu bahwa ia mengikuti olimpiade tersebut.
“Iya.”
“Gimana pengumumannya?”
“Engga tahu. Hehehe”
“Lho.”
“Hahaha emang engga tahu, yang penting pengalamannya lah. Hmm… turun di Asia ya?”
“Iya. Kamu turun di PDI ya?”
“Hm …”
Mengapa angkota ini berjalan sangat cepat? Padahal aku ingin berada di dalam angkota lebih lama bersamanya.
“Aku duluan ya.” Kataku terlihat kecewa.
Rasanya aku tak ingin beranjak dari tempat dudukku sekarang. Tak ingin ku ucapkan kata-kata itu. Tapi aku harus turun.
Tak kusadari aku berjalan menuju rumah dengan memasang senyumku yang tidak manis sedikitpun. Aku senang bisa mengobrol dengannya lagi. Aku membuka pintu rumah yang masih terkunci sambil mencari ponsel disaku bajuku. Ku lihat layar ponsel hitam abu-abu itu, tapi tak ada pesan satupun. Ingin rasanya aku mengirimkan pesan singkat kepadanya, tapi entah mengapa rasa gengsiku terlalu besar. Aku meninggalkan ponsel di atas meja belajar yang berada  di kamarku. Cepat-cepat aku membersihkan badan, makan, dan bersiap untuk tidur karena kau merasa lelah hari ini. Aku lemparkan tubuhku di atas tempat tidur dan saat ku lihat layar ponselku tertulis nama Radityo. Ya, lelaki yang aku sukai sejak sekolah menengah pertama itu. Radityo Yunus Utomo Wicaksono. Entah karena apa, aku selalu ingat nama yang panjang itu. Tak sadar aku tersenyum lebar dan wajahku yang tadinya muram kini terlihat lebih ceria. Di dalam pesan singkatnya ia menuliskan : ‘Aku enggak sombong kan’. Ah… membahagiakan.
Tubuhku sejak tadi sudah berada dalam posisi tidur. Namun setiap aku berusaha memejamkan mata, selalu senyum manisnya yang terlintas di bayanganku. Wajah tampannya akan semakin terlihat tampan apabila ia tersenyum. Andai aku bisa menikmati senyum itu setiap hari. Itu hanya mimpi bagiku.
Saat ku buka mataku, ternyata tanganku masih memegang ponsel. Ku lihat layar ponsel lagi. Aku tak ingin tersenyum. Tidak ada balasan pesan singkat darinya setelah aku mengirimkan pesanku kepadanya. Rasanya aku ingin meneleponnya, tapi apa daya lagi-lagi gengsiku terlalu besar. Lagipula aku tidak memiliki cukup banyak pulsa untuk meneleponnya. Maklum saja, aku bukan dari keluarga yang berkelebihan. Tepatnya keluarga yang sangat sederhana. Walaupun terkadang tidak semua kebutuhanku dapat terpenuhi, tapi aku sudah merasa cukup. Aku merasa sangat cukup. Ayah dan ibu yang bekerja sebagai guru. Dan kakak adik yang jarang terlihat bertengkar, itu membuatku merasa cukup. Cukup bahagia.
Setelah doa pagi, aku beranjak dari tempat tidur untuk memulai aktivitasku hari ini. Hari Selasa. Aku tidak terlalu suka dengan hari ini. Tentunya karena ada mata pelajaran Bahasa Inggris. Entah mengapa aku tidak terlalu suka dengan pelajaran Bahasa Inggris. Ah mungkin karena nilai-nilaiku di mata pelajaran ini tidak terlalu baik.
Pukul 07.00 pelajaran Bahasa Inggris dimulai. Ragaku duduk di barisan kursi paling belakang, seperti biasanya Christya duduk di samping kananku. Namun, pikiranku sedang tak bersama ragaku. Pikiranku terus berjalan ke arahnya. Ke arah laki-laki itu. Mengapa aku selalu ingat hal-hal kecil tentangnya. Aku begitu kagum ketika aku tahu laki-laki yang membuat jantungku selalu berdegup kencang apabila aku duduk dekat dengannya itu menyukai mata pelajaran Bahasa Inggris. Nilai-nilanya membuatku sangat kagum. Berbalik 180 derajat dengan aku.

My Story

Page -3-
Aku selalu ingin bisa sama sepertinya, jago dalam mata pelajaran Bahasa Inggris. Saat ini, seakan pikiranku hanya tertuju padanya. Aku ingat lagi bahwa dulu saat kami masih kelas 7, saat mata pelajaran Bahasa Indonesia sedang membahas tentang pantun, ia pernah membuat sebuah pantun yang hingga kini aku tetap mengingatnya.
Pergi ke Jogja berburu keris
Keris dipakai membunuh hiu
Jika kamu mengerti Bahasa Inggris
Apa arti kata: I love you?
Saat bel pulang sekolah berbunyi, kami bertiga ¾ aku, Christya, dan Aisha, teman sekelasku kompak beranjak dari tempat duduk untuk mengikuti kegiatan ekstrakurikuler, cheerleading.
Aku pulang kira-kira pukul 16.30. Tyok sudah tidak berputar-putar lagi di otakku. Ya, aku memanggil Radityo dengan panggilan Tyok karena itu terdengar lebih pendek. Dipikiran hanya terlintas aku ingin segera pulang ke rumah. Sangat kesal aku salah memilih angkota nomor 5. Aku memasuki angkota yang sudah penuh sesak. Mau tak mau aku harus duduk berdesak-desakan. Aku tak sadar ketika angkota yang ku naiki berhenti dan menaikkan seorang penumpang lagi. Setelah ku sadari, ternyata aku mengenal laki-laki itu. Tyok. Terima kasih Tuhan, Engkau telah mempertemukan kami di angkota nomor 5 lagi. Langsung saja aku beri senyum termanisku kepadanya walaupun menurutku senyumku itu sama sekali tidak manis.
“Pulang sore lagi?”
“Iya, tadi latihan cheers dulu.”
“Oh. Hmm kok bisa ya kita ketemu lagi di angkota nomor 5?”
“Hahaha aku juga tidak tahu.”
“Wah sepertinya kita jodoh ya.”
“Ha?” Rasanya telingaku ingin mendengar kata-kata itu lagi.
Walaupun kami berada dalam angkota yang sangat penuh sesak, tapi kami masih tetap bisa mengobrol. Dia bercerita tentang lomba rubik yang akan di ikutinya. Tentu saja aku ingat bahwa ia sering mengikuti lomba rubik seperti itu. Aku ingat ketika kami masih kelas 9, ia pernah mengikuti lomba rubik di Bandung. Saat Tyok di antar ke terminal bus oleh orangtua dan adiknya, ia mengirimkan pesan singkat kepadaku: ‘Seandainya kamu bisa ikut mengantarku ke terminal bus.’ Saat aku membacanya, aku juga sangat ingin berada di terminal bus itu. Namun, aku hanya bisa membalas pesannya dengan persaan sedih: ‘Hati-hati ya. Kamu pasti bisa. Good luck.’
“Kamu datang ya ke lomba besok.” Suaranya mengagetkanku.
“Dimana? Kapan sih? Kalau aku bisa, pasti aku datang.”
“Besok jam 16.00 di Balairung UKSW. Datang ya.”
“Oke.”
Keesokan harinya wajahku sangat muram setelah aku ketahui bahwa sepulang sekolah aku harus mengikuti latihan cheers lagi. Padahal aku sudah berjanji untuk datang ke Balairung UKSW.
Pukul 16.10 aku masih bersama tim Squad of Smanssa, tim cheers sekolahku. Ku lirik jam tanganku ternyata aku sudah terlambat. Aku langsung berlari dan meninggalkan teman-temanku. Aku terus berlari menuju Balairung UKSW tanpa memikirkan kelelahanku. Mataku terus berputar mencari dimana ia berada. Mataku berhenti pada laki-laki tampan yang mengenakan kaos bergambar tokoh kartun Patrick. Dia Tyok. Ia tersenyum ketika melihatku sudah berdiri di gedung ini.
 Ketika ia telah selesai, ia menghampiriku dan mengucapkan terima kasihnya atas kedatanganku. Sebelum pulang, Tyok menwarkan makan malam, dan ia janji akan mentraktirku. Aku menikmati suasana itu. Suasana romantis yang sejak dulu aku menginginkannya. Duduk berdua dengannya bercerita semua tentang kita. Kurasa aku jatuh cinta lagi dengannya. Mengapa aku pernah memutuskan hubungan kami? Aku sangat menyesalinya sekarang. Aku benar-benar mencintainya. Namun apakah dia juga menyimpan rasa yang sama sepertiku?
Dalam makan malam itu, ia banyak bertanya bagaimana perasaan seorang gadis terhadap lawan jenisnya. Tyok bertanya bagaimana sikap seorang gadis apabila ia mendekatinya. Ia juga bertanya tentang apa saja yang disenangi seorang gadis. Yang membuatku terkejut, ia juga bertanya apa yang disenangi seorang gadis dari seorang laki-laki.
Mungkinkah aku yang ia maksud? Ah hanya mimpi kalau wanita yang ia maksud adalah aku. Aku terlalu percaya diri. Namun aku sangat berharap gadis itu adalah aku.  Aku pun pulang dengan hati yang gembira, tapi penuh rasa penasaran.
Hari demi hari aku semakin lebih dekat dengannya. Terasa dunia hanya milik kami berdua. Aku suka cara dia bermain gitar. Aku suka cara dia berkata-kata. Aku suka cara dia menghargai seorang gadis. Aku suka semua hal tentangnya. Saat ia berada di rumahku, ia memainkan salah satu lagu dari Paramore dengan gitar favoritnya. Aku sangat suka permainan melodinya. Aku merasa semakin mencintainya.
Tiba-tiba ia menyanyikan sebuah lagu:
Sudah  katakan cinta
Sudah ku bilang sayang
Namun kau hanya diam
Tersenyum kepadaku
Kau buat aku bimbang
Kau buat aku gelisah
Ingin rasanya kau jadi milikku
Jantungku seakan berhenti berdetak. Apakah di benar-benar tulus menyanyikannya untukku? Atau aku hanya bermimpi? Nyatanya ia benar-benar sedang duduk disampingku memegang gitarnya. Ingin aku mendengar lagi ia menyanyikannya. Jika ia sedang tidak bercanda menyanyikannya, entah apa yang akan aku lakukan. Aku terlalu bahagia bila aku menjadi kekasih hatinya. Dia terlalu sempurna untukku. Walaupun aku tahu tidak ada manusia yang sempurna di dunia ini.

My Story

 Page -4-
“Gimana lagunya?”
“Ha? Bagus kok?”
“Cocok kan kalau buat nembak cewek?”
“Hmm.. Pasti. Apalagi permainan gitarmu sangat bagus.”
“Nanti sore aku akan menyatakan cintaku pada Helga. Kamu sudah tahu orangnya kan? Sewaktu kita berada di Balairung UKSW. Aku menunjukkan gadis yang memakai kaos bergambar Spongebobs. Apa kau ingat?”
“Ya aku ingat.”
Seketika itu juga tubuhku lemas tak bertenaga. Selama ini aku salah. Bukan aku gadis itu. Namun Helga. Mengapa aku baru sadar bahwa saat lomba itu, ia memakai kaos bergambar tokoh kartun Patrick dan itu ada hubungannya dengan Helga yang memakai kaos bergambar tokoh kartun Spongebobs. Betapa tololnya aku mencintai orang yang mencintai orang lain.
“Apa kau tidak apa-apa?” tanyanya padaku penuh heran karena ia melihat raut wajahku yang tiba-tiba pucat.
“Ya aku tak apa-apa.”
“Ah, kau kan teman yang baik kan? Pasti kau mau membantuku menyiapkan kejutan nanti sore?”
“Pastilah. Aku akan membantumu.”
“Tolong belikan mawar kuning sebatang saja dan satu boneka Spongebobs. Karena Helga sangat menyukai tokoh kartun Spongebobs.”
“Oke.”
Tyok cepat-cepat pulang dari rumahku. Mungkin ia ingin mempersiapkan diri. Mengapa tubuhku masih tak bertenaga. Tak sadar air mataku menetes. Tak bisa aku menahannya. Aku ingin berteriak. Aku kesal mengapa aku terlalu berharap bahwa Tyok juga mencintai aku? Aku bodoh. Aku tak berpikir bahwa aku tidak pantas untuk mencintainya. Aku tidak bisa mengontrol diriku sendiri. Aku hanya bisa terdiam. Kira-kira satu jam aku hanya duduk dan menangis. Menyesali perasaanku sendiri. Perasaan yang tak berarti lagi. Namun, aku sudah berjanji kepadanya untuk membantunya menyiapkan rencananya itu. Aku berdiri dan berjalan ke toko bunga. Aku melihat sebatang bunga mawar kuning yang terpajang di etalase toko bunga itu. Tanpa pikir panjang, aku langsung membelinya. Kemudian aku pergi ke toko boneka di seberang jalan toko bunga. Aku membeli boneka sesuai perintah Tyok.
Semua telah siap. Tinggal menunggu kedatangan Helga. Helga datang dan Tyok langsung menyanyikan lagu:
Sudah katakan cinta
Sudah ku bilang sayang
Namun kau hanya diam
Tersenyum kepadaku
Kau buat aku bimbang
Kau buat aku gelisah
Ingin rasanya kau jadi milikku
 “Apa aku boleh memanggilmu dengan sebutan pacarku?” Kata-kata itu terucap dari bibir Tyok dengan lancar dan tegas. Mungkin ia sudah berlatih di depan cermin untuk berbicara kepada Helga sehingga tidak terlihat gugup.
“Apabila aku boleh memanggilmu dengan sebutan pacarku, ambilah boneka Spongebobs ini. Namun, apabila aku tidak boleh memanggilmu dengan sebutan pacarku, ambilah bunga mawar kuning ini.”
Ya memang benar, aku mendengarnya menyanyikan lagu itu lagi. Namun, ia menyanyikannya untuk gadis yang benar-benar ia cintai. Bukan aku. Helga gadis yang beruntung. Pasti saja dia menerima permintaan Tyok untuk menjadi kekasih hatinya.
“Aku ambil boneka ini ya.” Helga menjawab dengan yakin.
Seharusnya aku juga bahagia melihat orang yang aku cintai juga bahagia walaupun bersama orang lain. Aku memang harus belajar tersenyum melihat mereka bahagia. Air mataku tak terbendung lagi. aku menangis di tempat itu. Saat Tyok melihatku menangis, ia menghampiriku. Aku memeluknya erat.
“Kau kenapa?”
“Aku bahagia.”
“Terima kasih kau mau membantuku.”
“Tentu saja aku mau.”
Aku tak ingin melepas pelukan ini. Namun aku tak bisa berbuat apa-apa lagi. Tyok sudah bersama Helga.
Aku membuka buku catatan harianku. Aku menyelipkan foto yang aku ambil secara diam-diam, fotonya saat sedang bermain gitar dan aku menuliskan dibelakang foto itu:
I love you more than any word can say
I love you more than every action I take
I will be right here loving you till the end